_Disintegrasi Sosial versus Integrasi Sosial_
Sorot Merah Putih, Jakarta – Wacana Presiden Prabowo Subianto akan membangun Lembaga Pemasyarakatan yang modern, super-maximum security yang tempatnya di pulau terpencil khusus koruptor disambut Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto.
Pernyataan Presiden Prabowo memperlihatkan keseriusan Pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Namun demikian, Hasanuddin, Koordinator Simpul Aktivis Angkatan 1998 (SIAGA 98) menyatakan bahwa ide atau gagasan mengenai Penjara Khusus bukanlah hal baru.
“Wacana gagasan Penjara khusus ini sudah sangat lama, tidak hanya penjara khusus bagi koruptor, tetapi juga untuk teroris dan narkotikam” ucapnya. Selasa (01/04/2025).
Sejak Presiden Prabowo dalam suatu kesempatan menyampaikan komitmennya pada pemberantasan korupsi dan juga menyampaikan hal terkait penjara khusus.
“Beberapa pihak, entah mengapa lebih tertarik membahas penjara khusus daripada pemberantasan korupsi hingga keakarnya dan hukuman berat,” ungkapnya.
Hasanuddin yang juga Pendiri LBH Padjajaran ini menegaskan, jika gagasan ini hendak di operasionalkan, maka setidaknya konsep penjara khusus ini harus dilihat dan diukur dalam perspektif peraturan yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang Pemasyarakatan (UU 22 Tahun 2022).
“Di UU Ini tidak dikenal istilah Penjara Khusus atau tidak ada satu pasalpun yang mengatur tentang penjara khusus bagi tindak pidana tertentu,” terangnya.
Mengapa hal ini tidak diatur? Haanuddin menjelaskan, karena Penjara Khusus adalah warisan dari era kolonial, dan Indonesia meninggalkan cara ini dengan merubahnya melalui “Konsepsi Pemasyarakatan”.
“Sistem pemasyarakatan mengacu pada asas; pengayoman, non diskriminasi, kemanusiaan, kemandirian, proporsionalitas, dan seterusnya,” lanjutnya.
Lebih jauh Hasanuddin memaparkan, bahkan apabila ada tahanan (narapidana) beresiko tinggi atau tahanan (narapidana) yang berpotensi meĺarikan diri, berbahaya terhadap orang lain, memerlukan upaya pengendalian khusus.
“Upaya pengendalian khusus ini, agar taat pada aturan dalam lembaga, dan melakukan intimidasi, mempengaruhi dan seterusnya, maka tindakan yang diberikan berupa pelayanan atau pembinaan khusus, bukan tahanan khusus,” tegasnya.
Disini jelas, Hasanuddin menegaskan, bahwa perilaku tahanan dan narapidana yang menjadi bahan acuan dan evaluasi, bukan jenis tindak pidananya, serta tindakan yang diberikan terbatas pada bentuk pembinaan.
“Bukan fasilitas penjara khusus atau tertentu. Pemasyarakatan sebagai tahap akhir dari sistem peradilan pidana telah diatur dengan khusus melalui UU Pemasyarakatan,” paparnya.
Hasanuddin pun menekankan, sejatinya UU ini telah disusun dengan melibatkan Akademisi, Ahli Hukum, Pemerintah dan DPR, dengan mempedomani prinsip perlindungan hukum dan perhormatan HAM, yang bertujuan reintegrasi sosial melalui konsep dasar pembinaan dan pembimbingan narapidana.
Konsepsi ini berbeda sekali dengan konsep pemenjaraan di era kolonial: melalui sistem pemidanaan pemenjaraan, kerja paksa, eksploitasi, dan narapidana tidak memiliki hak asasi sebagai manusia atau melanggar HAM.
Konsepsi pemenjaraan era kolonial ini berbasis memberikan dampak pemidanaan kolonial untuk balas dendam, penganiayaan, penyiksaan dan efek jera.
Jika pemidanaan bertujuan untuk pemberantasan korupsi, semestinya tidak dilihat diakhir dari sistem peradilan pidana (pemasyarakatan), melainkan pemberatan pada tuntutan dan putusan pengadilan.
“Dan sebagaimana kita ketahui UU Tindak Pidana Korupsi kita telah memberikan peluang pemidanaan (pidana pokok) dengan putusan berat, ditambah dengan pidana tambahan Uang Pengganti, dan dapat juga dilakukan pidana tambahan perampasan aset,” ucapnya.
Akhir kata, Penjara Khusus selain anti integrasi sosial sebagaimana tujuan UU Pemasyarakatan tetapi juga warisan era kolonial.
“Dalam hal dilakukan hukuman berat pada narapidana korupsi, maka pidana pokok dan pidana tambahan yang berat harus dijatuhkan, bukan pada akhir sistem peradilan pemasyarakatan,” tandasnya.
Pernyataan Presiden Prabowo terkait hal ini harus dilihat secara utuh dan satu kesatuan, bahwa yang utama berantas korupsi sampai keakar-akarnya.
Sebagai informasi Menteri Imipas mengaku pihaknya tengah memilih beberapa lokasi yakni di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di wilayah Kalimantan.
Sebagai alasan dibangunnya penjara super maximum tersebut lantaran kekhawatiran Presiden, negara akan menuju ambang kehancuran apabila banyak korupsi didalamnya. Untuk itu, ia mengklaim tak main-main dengan tindak pidana korupsi.
Bahkan Presiden mengaku bisa bertindak lebih ekstrem dengan mengusir para koruptor dari Indonesia.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak melempar wacana agar negara tidak usah menyediakan makanan untuk koruptor saat menjalani masa penahanan di penjara.
Johanis pun merespon dan menyatakan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang ingin membangun penjara khusus koruptor di pulau terpencil. Menurut dia, akan lebih baik agar pemerintah menyediakan alat pertanian untuk koruptor bercocok tanam dan menikmati hasil dari kegiatan tersebut.*Boelan
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini