Sorot Merah Putih, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa ketentuan pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru tidak dihapus.
Pidana mati tetap dipertahankan, namun dirumuskan sebagai sanksi yang bersifat khusus dan hanya dapat dijatuhkan serta dilaksanakan dengan sangat hati-hati.
“Jaksa dalam tuntutannya diwajibkan mengajukan pidana mati dengan disertai alternatif hukuman lain, misalnya hukuman penjara seumur hidup, untuk dipertimbangkan oleh Majelis Hakim,” kata Yusril melalui siaran pers yang dikutip Kamis (10/04/2025).
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan, bahwa pemerintah dan DPR berkewajiban menyusun Undang-Tndang tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 102 KUHP Nasional.
Secara substansi, ketentuan mengenai pidana mati telah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 64 huruf c, Pasal 67, dan Pasal 68 KUHP. Yusril menekankan bahwa pidana mati tidak otomatis dapat dilaksanakan setelah vonis pengadilan dijatuhkan.
“Pelaksanaan hukuman mati hanya dapat dilakukan setelah permohonan grasi dari terpidana ditolak oleh Presiden. Oleh karena itu, permohonan grasi menjadi kewajiban yang harus diajukan oleh terpidana, keluarganya, atau penasihat hukumnya,” jelas Yusril.
Pasal 99 dan 100 KUHP bahkan memberi ruang bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Apabila dalam periode tersebut terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku yang signifikan, Presiden dapat mengubah hukuman menjadi pidana penjara seumur hidup.
“Pendekatan kehati-hatian ini berakar dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk kejahatan yang paling berat dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan yang sangat mendalam,” tegas Yusril.
Ia juga mengingatkan bahwa hakim dan pemerintah tetap manusia yang bisa saja salah dalam mengambil keputusan.
Yusril mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, “Bagi seorang hakim, adalah lebih baik dia salah dalam membebaskan seseorang, daripada dia salah menghukum seseorang”.
Yusril mengingatkan bahwa kesalahan dalam menjatuhkan pidana mati memiliki konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki.
“Orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Oleh karena itu, kehati-hatian adalah prinsip yang mutlak,” ujarnya.
Terkait isu hak asasi manusia, Yusril menilai sikap terhadap pidana mati sangat bergantung pada tafsir filosofis terhadap hak hidup. Ia menyatakan bahwa KUHP Nasional mengambil posisi tengah atas perbedaan pandangan tersebut.
“Pidana mati dikenal dalam hukum pidana Islam, hukum pidana adat, dan juga KUHP warisan kolonial. Maka dari itu, pidana mati tidak dihapus, tetapi ditetapkan sebagai bentuk pidana khusus yang pelaksanaannya harus sangat hati-hati,” pungkasnya.

Prabowo: Hukuman Mati Tak Memberi Ruang Koreksi
Dalam konteks yang sama, Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengemukakan pandangannya terkait hukuman mati, khususnya bagi pelaku korupsi.
Dalam wawancara dengan tujuh pemimpin redaksi media nasional di kediamannya di Hambalang, Bogor, pada Minggu (06/04/2025), Prabowo menyatakan tidak setuju dengan penerapan pidana mati untuk tindak pidana korupsi.
Menurut Prabowo, hukuman mati bersifat final dan tidak memberikan ruang koreksi jika terjadi kekeliruan dalam proses hukum.
Presiden menekankan bahwa meskipun keyakinan atas kesalahan pelaku mencapai 99,9 persen, masih ada kemungkinan bahwa individu tersebut dijebak atau menjadi korban.
Prabowo lebih menekankan pentingnya pengembalian kerugian negara oleh koruptor dan mendukung penyitaan aset hasil korupsi. Namun, ia mengingatkan agar penyitaan aset tidak menimbulkan ketidakadilan bagi keluarga terpidana.
“Dosa orang tua tidak seharusnya dibebankan kepada anak-anak mereka,” ujar Prabowo.
Sebagai catatan, hukuman mati untuk pelaku korupsi masih tercantum dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Namun, ketentuan tersebut hanya berlaku dalam kondisi tertentu, seperti pada saat negara dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional, krisis ekonomi, atau sebagai bentuk pengulangan tindak pidana. Sejauh ini, pidana mati tersebut belum diterapkan.*Boelan
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini