Sorot Merah Putih, Bandung – Senja memudar di Jalan Aceh no. 30, Kota Bandung, namun api perlawanan menyala kembali di Gedung Bandoengsche Melk Centrale (BMC) 1928.
Di tempat bersejarah yang dulu menjadi saksi era kolonial itu, puluhan aktivis dari berbagai generasi berkumpul dalam forum bertajuk “Diskusi dan Konsolidasi Aktivis ’98: Saksi Sejarah dari Bandung”.
Forum ini bukan nostalgia. Ini adalah perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai “lupa kolektif yang disengaja”. Sejarah reformasi, kata mereka, bukan milik elit politik, melainkan milik rakyat.

“Sejarah Reformasi bukan milik elite. Ia milik rakyat, darah, dan airmata,” tegas M. Suryawijaya, Ketua Presidium Perkumpulan Aktivis ’98, membuka forum dengan pernyataan yang menggema, Minggu (29/6/2025).
Forum ini memuncak ketika muncul kritik keras terhadap pernyataan Fadli Zon, Menteri Kebudayaan yang dalam sebuah wawancara publik menyatakan bahwa tidak pernah ada kasus perkosaan terhadap perempuan keturunan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998.
Pernyataan itu langsung dibantah oleh Hemasari Dharmabumi, aktivis perempuan yang menjadi saksi langsung tragedi tersebut.
“Perempuan-perempuan itu benar-benar diperkosa. Saya menyaksikannya. Saya membantu mereka. Ini bukan fiksi. Ini luka sejarah,” tegas Hemasari dengan suara bergetar.
Ia menegaskan bahwa laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 telah mengonfirmasi kekerasan seksual massal dalam tragedi tersebut. Namun hingga kini, negara belum pernah menempuh jalur hukum yang adil dan tuntas.
“Saya khawatir anak-cucu kita akan kehilangan sejarah jika kebohongan dibiarkan hidup,” tambah Hemasari.

Forum ini bukan hanya ruang berbagi trauma, tapi juga konsolidasi politik akar rumput. Mahasiswa, mantan tahanan politik, aktivis HAM, hingga seniman jalanan turut bersuara.
Berikut empat poin seruan moral Deklarasi Bandung, luruskan sejarah untuk kepentingan bangsa :
1. Menolak pengaburan sejarah Mei 1998 yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan;
2. Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan harus minta maaf dan mundur sebagai Menteri Kebudayaan karena telah melukai hati bangsa Indonesia;
3. Penuntasan proses pelanggaran HAM melalui Pengadilan HAM sampai tuntas;
4. Dibentuk kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsoliasi (KKR) dalam rangka pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi nasional.
“Kalau Menteri Kebudayaan saja menolak kebenaran sejarah, lalu kepada siapa kita titip ingatan?” tanya Suryawijaya dalam pernyataan yang mendapat tepuk tangan panjang dari peserta.
Bandung, kota yang menjadi episentrum perlawanan sejak 1946 hingga Reformasi 1998, kini dinilai tengah dibungkam. Sejarah direduksi menjadi seremoni, ruang publik dikendalikan, dan aktivisme diremehkan.
Namun, forum ini membalikkan arah itu. Tanpa protokol resmi, tanpa panggung megah, mereka menghadirkan ruang kritik otentik yang langka dalam lanskap demokrasi hari ini.
Forum ditutup malam hari dengan pembacaan puisi, lagu-lagu perjuangan, dan pelukan sesama aktivis. Tapi pesan utamanya menggema jauh lebih kuat dari itu:
Melawan lupa adalah tugas abadi. Dan sejarah bukan milik penguasa, tapi milik mereka yang berani mengingat.*
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini