Sorot Merah Putih, Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi luas dari masyarakat.
Habiburokhman mengungkapkan bahwa inisiatif penyusunan kembali RUU KUHAP dilakukan setelah draft sebelumnya pada tahun 2012 mengalami kebuntuan atau deadlock.
“Pada 2012, RUU KUHAP sempat dinilai kontroversial, bahkan disebut oleh ICW sebagai ‘pembunuh KPK’ karena menghapus tahapan penyelidikan dan mengatur keberadaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), yang memiliki kewenangan besar dalam menentukan sah atau tidaknya penahanan dan upaya paksa,” ujar Habiburokhman dalam keterangan pers, dikutip Jum’at (18/04/2025).
Karena polemik tersebut, lanjutnya, banyak pihak termasuk KPK mendesak agar pembahasan dihentikan.
Pada akhirnya, pemerintah dan DPR saat itu sepakat menunda pembahasan RUU KUHAP untuk memprioritaskan RUU KUHP.
RUU KUHAP 2012 pun tidak dapat dibahas kembali karena tidak masuk dalam daftar carry over sesuai ketentuan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
RUU KUHAP Disusun Kembali oleh Komisi III DPR RI
Pada masa keanggotaan DPR 2024–2029, Komisi III memulai kembali proses penyusunan RUU KUHAP.
Rapat internal Komisi III pada 23 Oktober 2024 menugaskan Badan Keahlian DPR untuk menyusun Naskah Akademik (NA) dan draft RUU KUHAP.
“Badan Keahlian DPR telah melakukan serangkaian kegiatan penyerapan aspirasi publik, termasuk diskusi dengan aparat penegak hukum seperti Jampidum Asep Nana Mulyana, Staf Ahli Polri Iwan Kurniawan, dan Wamenkumham Edward Omar Syarief Hiariej, serta lembaga swadaya masyarakat seperti ICJR, LeIP, dan IJRS,” jelas Habiburokhman.
Salah satu kegiatan penting adalah webinar nasional pada 23 Januari 2025 yang menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta via Zoom dan lebih dari 7.300 peserta melalui kanal YouTube DPR RI.
Serapan Aspirasi Melibatkan Multi-Stakeholder
Selain webinar, Komisi III melakukan sedikitnya delapan kegiatan serap aspirasi, antara lain: Rapat kerja dengan Ketua Komisi Yudisial pada 10 Februari 2025; RDP dengan Ketua Kamar Pidana dan Kamar Militer Mahkamah Agung, pada 12 Februari 2025.
Selanjutnya RDPU dengan para advokat seperti Maqdir Ismail dan Luhut Pangaribuan, 5 Maret 2025; Publikasi resmi NA dan RUU KUHAP di situs DPR, pada 20 Maret 2025; dan RDPU lanjutan dengan akademisi dan praktisi hukum di 24 Maret 2025.
Lalu, penyerapan aspirasi dari organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI, PBHI, Amnesty, AJI, ICJR, dan lainnya pada 8 April 2025.
“Beberapa poin penting muncul dari proses ini, seperti penolakan Mahkamah Agung terhadap konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan, usulan imunitas khusus bagi advokat, serta kesepakatan bahwa pasal penghinaan Presiden harus diselesaikan melalui mekanisme restorative justice,” papar Habiburokhman.
Progres Legislasi dan Harapan Publik
Pada 16 Februari 2025, Komisi III menyampaikan NA dan draft RUU KUHAP kepada Pimpinan DPR RI. Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025 menyetujui RUU tersebut sebagai RUU usulan DPR.
Selanjutnya, Presiden mengirimkan Surat Presiden Nomor R-19/Pres/03/2025 kepada DPR yang menunjuk wakil pemerintah untuk membahas RUU tersebut bersama DPR.
“Proses resmi pembahasan akan dimulai dengan Rapat Kerja antara Komisi III dan wakil pemerintah. Seluruh pembahasan akan dilaksanakan secara terbuka di Gedung DPR dan disiarkan langsung melalui TV Parlemen,” tegas politisi Partai Gerindra ini.
Habiburokhman menegaskan bahwa Komisi III berkomitmen untuk terus melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembahasan.
“Kami berharap masyarakat bisa terus mengawal dan berpartisipasi dalam pembahasan KUHAP. Kami ingin memastikan KUHAP yang baru benar-benar mencerminkan keadilan dalam proses hukum pidana di Indonesia. Ini adalah momen penting bagi pembaruan sistem peradilan kita,” tutupnya.*Boelan
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini