Oleh: Aris Santoso
Sorot Merah Putih — DPR RI resmi menetapkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. Apa dampaknya? Inilah analisa pengamat militer Aris Santoso.
Teguran keras mantan Presiden SBY (lulusan terbaik Akmil 1973) akhir bulan lalu, telah memicu perbincangan publik. Substasi teguran SBY adalah, agar perwira aktif mundur atau pensiun dini, bila mengisi jabatan birokrasi sipil.
Teguran SBY menemukan momentum yang tepat, karena bersamaan waktunya dengan proses revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang disahkan di parlemen.
Dari sekian banyak pasal dalam revisi UU TNI tahun 2004, sebetulnya hanya dua isu saja yang sangat krusial, selaras dengan apa yang menjadi keprihatinan SBY tersebut.
Pertama, soal penempatan perwira TNI aktif dalam kementerian atau lembaga (K/L) negara, atau secara umum dikenal sebagai birokrasi sipil, yang semula 10 K/L, menjadi 15 K/L.
Kedua, adalah penambahan usia pensiun prajurit TNI, sejak level tamtama hingga perwira tinggi.
Satu hal yang juga menjadi perhatian publik, ketika proses revisi UU TNI mendapat perlakuan khusus dari DPR RI (Komisi I), sehingga diproses dengan cepat.
Tindakan khusus seperti ini justru menimbulkan dugaan adanya agenda tersembunyi, sehingga memicu resistensi gerakan masyarakat sipil dan pembela HAM (human right defender).
Proses yang terkesan eksklusif dan elitis seperti itulah, semakin mengeraskan perlawanan kelompok masyarakat sipil,sebagaimana terlihat dalam insiden di Hotel Fairmont akhir pekan lalu.
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini