Sorot Merah Putih, Jakarta – Korupsi bukan sekadar kejahatan yang merugikan finansial negara. Lebih dari itu, korupsi dapat menjadi alat sistematis untuk menguasai negara dari dalam, merusak fondasi kebijakan publik, dan mencuri masa depan bangsa.
Menyikapi maraknya praktik politik transaksional yang masih menjadi persoalan serius dalam kontestasi politik nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggulirkan kajian strategis terkait sistem pendanaan partai politik (parpol) dan pembiayaan Pemilu.
Kajian ini secara khusus menyoroti skema pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan tujuan membendung potensi korupsi yang timbul akibat tingginya biaya politik.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk memperkuat fondasi demokrasi yang bersih, transparan, dan berintegritas.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa kajian ini merupakan respons atas tingginya biaya politik serta meningkatnya risiko korupsi dalam penyelenggaraan demokrasi elektoral.
Kajian ini memperluas ruang lingkup dari studi serupa yang pernah dilakukan KPK pada tahun 2011. Jika sebelumnya kajian fokus pada bantuan keuangan parpol dari APBN/APBD, kini KPK menelaah keseluruhan siklus pembiayaan politik: sebelum, saat, dan setelah Pemilu.
“Biaya politik yang tinggi mendorong munculnya praktik politik uang, pengaturan proyek, jual beli jabatan, hingga gratifikasi. Ini semua menciptakan lingkaran setan korupsi yang merusak integritas demokrasi,” tegas Budi, dikonfirmasi Sabtu (24/5/2025).
Isu ini juga mencuat dalam Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi yang digelar oleh Direktorat Korsup Wilayah I KPK pada 28 April 2025.
Perwakilan legislatif dari wilayah barat Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara, Riau, hingga Bengkulu , turut menyampaikan kekhawatiran serupa dan meminta KPK mengkaji kembali skema pendanaan parpol yang selama ini justru menimbulkan beban politik dan membuka celah korupsi.
Data KPK mencatat, sejak 2004 hingga 9 Mei 2025, tokoh politik termasuk dalam tiga besar pelaku korupsi berdasarkan jabatan. Sebanyak 363 anggota DPR/DPRD, 171 kepala daerah dan wakilnya, serta 30 gubernur terjerat kasus korupsi, mayoritas karena ingin “mengembalikan” biaya politik yang tinggi.
Dua kasus besar menyoroti betapa seriusnya persoalan ini. Pertama, OTT terhadap anggota DPR RI Bowo Sidik Pangarso pada 2019, yang kedapatan menyiapkan 400.000 amplop untuk “serangan fajar”.
Kedua, OTT terhadap Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah pada November 2024, yang diduga menerima gratifikasi Rp7 miliar menjelang Pilkada. Kedua kasus ini menegaskan bagaimana biaya politik yang tinggi mendorong pejabat publik untuk mencari dana ilegal guna mempertahankan atau meraih jabatan.
Lima Tujuan Strategis Kajian KPK 2025
Kajian terbaru KPK menetapkan lima tujuan utama, yaitu: Pemetaan sumber pembiayaan politik di seluruh tahapan Pemilu, Identifikasi potensi korupsi dalam pembiayaan politik yang signifikan.
Lalu, pengumpulan bukti atas penggunaan anggaran negara dalam pembiayaan politik, termasuk bansos, analisis dampak biaya politik tinggi terhadap perilaku pejabat terpilih, dan kajian pengaruh biaya politik terhadap penyimpangan program di Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah.
Untuk mewujudkan hal tersebut, KPK telah menjalin diskusi dengan sejumlah stakeholder penting, seperti KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, Ditjen Anggaran Kemenkeu, partai politik, para caleg yang gagal, hingga akademisi dan pakar tata kelola.
Topik yang dibahas mencakup strategi menekan biaya Pemilu, pencegahan pembiayaan ilegal, hingga pengelolaan konflik kepentingan antara pejabat publik dan donatur.
Peluang untuk Reformasi Politik
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto dalam webinar tematik pendidikan antikorupsi ‘State Capture Corruption: Belajar dari Skandal e-KTP’ secara daring melalui kanal YouTube KPK, Kamis (15/5) menegaskan bahwa KPK telah lama merekomendasikan agar partai politik didanai penuh oleh negara melalui APBN.
Hal ini diyakini dapat menekan praktik politik uang dan memperkuat demokrasi yang sehat. Usulan ini mulai mendapatkan respons positif dari pemerintah.
Kajian, lanjut Budi menjelaskan, saat ini masih dalam tahap pengumpulan data dan informasi. KPK menargetkan penyusunan laporan dan pemaparan hasil kajian akan dilakukan pada Juli 2025.
“Hasil kajian ini diharapkan menjadi pijakan kuat bagi reformasi sistem pendanaan politik yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel,” harapnya.
Melalui inisiatif ini, KPK mengajak seluruh pemangku kepentingan dari lembaga Pemilu, pemerintah, partai politik, hingga masyarakat sipil untuk bersama-sama membangun fondasi demokrasi yang tidak hanya kuat secara institusional, tetapi juga berintegritas secara moral.
“Karena hanya dengan sistem politik yang bersih dan adil, masa depan Indonesia dapat dijaga dari praktik-praktik korupsi yang menghancurkan dari dalam,” pungkas Budi.*
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini
















