Sorot Merah Putih, Jakarta – Fenomena organisasi masyarakat (ormas) yang bertransformasi menjadi alat premanisme hingga mengganggu ketertiban umum dan iklim investasi nasional kembali menjadi sorotan.
Dalam podcast resmi “JUMATAN” – Jumpa PPATK Pekanan, Koordinator Kelompok Humas PPATK, M. Natsir Kongah, bersama Kepala Bidang Humas Puspen Kemendagri, Dr. Aang Witarsa Rofiq, membedah peran dan tantangan ormas di tengah masyarakat saat ini.
Aang menyebut, keberadaan ormas sejatinya dijamin konstitusi sebagai bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun, kebebasan itu tetap dibatasi oleh hukum dan harus selaras dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan semangat persatuan bangsa.

“Kita negara hukum. Kebebasan berserikat itu ada, tapi tidak bisa semena-mena. Harus ada disiplin, kepatuhan, dan tidak boleh melanggar hukum,” tegas Aang. Jum’at (20/6/2025)
Per 16 Juni 2025, terdapat 615.626 ormas yang terdata di Indonesia. Dari jumlah itu, 614.590 berbadan hukum di Kemenkumham, sementara 992 ormas yang tidak berbadan hukum hanya terdaftar melalui Surat Keterangan Terdaftar (SKT) di Kemendagri. Selain itu, terdapat 44 ormas asing yang juga beroperasi di Indonesia.
Ormas Jadi Sorotan
Dalam diskusi tersebut, Aang juga memaparkan bahwa aksi premanisme yang diduga melibatkan oknum ormas semakin meresahkan. Pada 2024 tercatat 3.417 laporan aksi premanisme, dan hingga Mei 2025 sudah ada 1.697 laporan yang masuk ke berbagai level kepolisian, dari Polres hingga Bareskrim.
“Modus premanisme berkembang dari sekadar penguasaan lahan parkir hingga ke pengaruh dalam proyek strategis nasional,” ungkapnya.
Fenomena ini mendorong Kemendagri bersama 22 kementerian dan lembaga membentuk Satgas Terpadu Pembinaan Ormas Terafiliasi Premanisme, yang diketuai oleh Menko Polhukam.
Satgas ini mencakup unsur Kemendagri, Polri, TNI, Kejaksaan, hingga PPATK, dan telah terbentuk di 19 provinsi.
Upaya Penindakan dan Pemberdayaan
Satgas ini tidak hanya melakukan penindakan terhadap ormas yang terlibat aksi kriminal, namun juga mengedepankan pendekatan pemberdayaan melalui edukasi, penguatan kapasitas kelembagaan, dan fasilitasi ormas yang berperan positif bagi masyarakat.
Namun, Aang mengkritisi hilangnya sejumlah program pembinaan ormas seperti pendidikan politik dan wawasan kebangsaan yang sempat dijalankan pada 2013–2014.
“Kita perlu aktifkan kembali program-program pembinaan. Jangan sampai ormas yang seharusnya membantu tugas negara, malah jadi beban atau ancaman,” ujarnya.
PPATK juga berperan dalam menelusuri potensi pelanggaran keuangan ormas, terutama jika ada aliran dana dari sumber tidak sah seperti pemerasan, pemalakan, hingga dana asing yang tak dilaporkan.
Ajak Masyarakat Aktif Melawan Premanisme
Aang mengajak masyarakat—khususnya Sobat PPATK—untuk berani melaporkan praktik premanisme dan ikut menjaga keamanan lingkungan masing-masing.
“Kalau masyarakat guyub, terorganisasi, dan kompak melawan aksi premanisme, mereka akan berpikir seribu kali sebelum bertindak,” pungkasnya

Ormas Harus Jadi Cahaya, Bukan Ancaman
Menutup diskusi, Koordinator Kelompok Humas PPATK, M. Natsir Kongah, menegaskan pentingnya pemanfaatan ruang media—terutama media sosial—sebagai sarana edukasi publik mengenai fungsi ideal organisasi kemasyarakatan.
“Ormas seharusnya menjadi cahaya di tengah kegelapan, menjadi jembatan antara rakyat dan negara,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa ketika ormas justru berubah menjadi alat intimidasi, penyebar kebencian, atau bahkan sarana pencucian uang, maka keberadaannya sudah melenceng jauh dari tujuan konstitusional dan harus diberantas.
“Kami mengajak semua pihak untuk aktif memanfaatkan ruang-ruang digital secara positif dan tidak memberi ruang bagi praktik-praktik penyimpangan atas nama ormas,” tegas Natsir.
Dengan semangat kolaborasi antara pemerintah, aparat, dan masyarakat, PPATK berharap ormas kembali pada fungsinya sebagai agen perubahan sosial yang konstruktif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.*
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini