Sorot Merah Putih, Jakarta – Empat bulan sudah berlalu sejak kepedihan itu datang menyelinap ke dalam hidup Jusup Imron Danu dan ratusan rekannya.
Pada 10 Februari 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat resmi menyatakan PT Indofarma Global Medika (IGM) pailit. Satu kata dari palu hakim yang memutus harapan 200 pensiunan perusahaan farmasi milik negara tersebut.
IGM, anak usaha PT Indofarma Tbk, bagian dari Holding BUMN Farmasi yang dikepalai Bio Farma dan Kimia Farma, tidak lagi sanggup membayar hak-hak pensiunan.
Mereka yang sebelumnya menanti dengan sabar pesangon yang dijanjikan, kini menghadapi masa tua dengan kecemasan, kekurangan, bahkan kemiskinan.
Harapan Menjadi Luka
“Satu tahun saya nunggu pesangon tidak cair, sekarang malah IGM pailit,” tutur Beni (57), mantan karyawan yang kini tinggal di Bogor. Selasa (24/6/2025).
Ia mengaku kondisi kesehatannya menurun drastis, dan anaknya yang baru satu tahun kuliah terancam putus studi.
Cerita tragis lain datang dari Wawan (19), anak almarhum pensiunan IGM.
“Saya terpaksa berhenti kuliah karena pesangon ayah saya tidak dibayar perusahaan. Sekarang jadi ojek online. Kalau sepi, nyambi buruh bangunan,” katanya.
Kisah-kisah seperti itu bukan satu dua. Mereka tersebar di berbagai pelosok, menyimpan luka dan diam-diam bertahan. Banyak yang kini harus berurusan dengan pinjaman online, bahkan rentenir, demi bertahan hidup.
Forum Pensiunan Bangkit Melawan
Melihat situasi kian genting, para pensiunan membentuk Forum Komunikasi Pensiunan IGM (FKPI IGM) dan memberi mandat penuh kepada Federasi Serikat Pekerja BUMN Indonesia Raya (FSP BUMN IRA) untuk memperjuangkan hak mereka secara hukum.
“Kami tidak akan menyerah. Kalau perlu, kami aksi damai di depan Istana Negara,” tegas Jusup Imron Danu, Ketua FKPI IGM.
Upaya hukum dan politik telah ditempuh. FKPI IGM dan FSP BUMN IRA telah dua kali hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI. Namun hingga kini, belum ada kejelasan atau jaminan dari pemerintah.
Ridwan Kamil, Sekjen FSP BUMN IRA, menegaskan negara harus bertanggung jawab.
“Mereka pensiun dalam kondisi perusahaan belum pailit. Secara hukum, hak mereka mutlak harus dibayar. Pemerintah tak bisa cuci tangan,” tegasnya.
Kamil menyebut persoalan ini sebagai bukti kerusakan tata kelola perusahaan BUMN, bahkan tak lepas dari dugaan korupsi direksi yang menghancurkan masa depan para pegawainya.
Tangis Sunyi di Tengah Angka Triliunan
Di balik data pailit dan kerugian perusahaan, ada derita yang tak terlihat dalam angka: dapur-dapur yang tak lagi mengepul, anak-anak yang terpaksa mengubur mimpi, dan para orang tua yang menggigil dalam senyap—menunggu hak yang mestinya mereka nikmati.
Sebuah ironi menyayat, di tengah slogan-slogan reformasi BUMN dan janji perlindungan negara, para purnawirawan perusahaan milik pemerintah justru dibiarkan bertarung dengan ketidakpastian.
“Negara harus hadir. Jangan biarkan kami menanggung dosa yang bukan kami buat,” pinta Danu.
Kini, mereka masih menunggu. Menanti keadilan dari negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum. Menunggu negara benar-benar hadir—bukan hanya dalam pidato, tapi nyata dalam tindakan.*RK
Baca juga :
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini