Oleh: Marlin Dinamikanto
SorotMerahPutih – Pemberian gelar pahlawan kepada 10 tokoh nasional yang sudah tiada menyisakan pro-kontra di masyarakat. Terutama pemberian gelar kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang memicu kontroversi terutama di lingkungan Aktivis 98. Penghargaan yang sama diberikan kepada Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan Marsinah yang gugur sebagai korban pembunuhan saat memperjuangkan hak-hak buruh di era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Pemberian gelar itu tentu saja memicu polemik di sejumlah platform media sosial. Muncul anggapan yang mendikotomikan apabila Soeharto diberi penghargaan pahlawan maka di sisi seberangnya, orang-orang yang pernah berlawanan dengan Soeharto dengan sendirinya secara diametral pantas disebut pengkhianat. Namun faktanya Presiden Prabowo juga memberikan penghargaan yang sama kepada Gus Dur dan Marsinah, dua sosok yang dicitrakan berlawan kekuasaan Orde Baru.
Saya tidak berada dalam posisi menilai apakah anggapan diametral di atas benar atau salah. Namun saya membaca ada dorongan yang kuat dalam diri Presiden Prabowo untuk melakukan rekonsiliasi secara total atas peristiwa kelam di masa lalu sekaligus membangun soliditas sosial-politik yang tidak pernah utuh, bahkan sejak Indonesia merdeka.
Untuk itu Presiden Prabowo – dalam sudut pandang saya tentunya – memandang perlunya rekonsiliasi menyeluruh untuk menghadapi tantangan bangsa ini ke depan yang secara global tidak sedang baik-baik saja. Apakah ikhtiar ini akan gagal atau berhasil tergantung kepada banyak hal, termasuk di dalamnya kebesaran hati dari masing-masing pihak yang selama ini berseberangan dalam banyak hal.
Tentu saja ini juga memerlukan kejujuran, introspeksi dan keterbukaan pikiran untuk masing-masing membangun kesepahaman di antara kelompok-kelompok yang dianggap bertikai untuk berebut ruang kebenaran. Ada kalanya pula, sebut saja kasus pembantaian di masa lalu, baik pelaku maupun korban sebenarnya sama-sama menjadi korban perang dingin dalam geopolitik perang global. Sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat sudah pasti tidak ingin terus-menerus menjadi proxy kepentingan yang membunuh soliditas suatu bangsa.
Rekonsiliasi memang bukan hal yang sederhana. Kami dengan diinisiasi mendiang Jopie Lasut dan Aktivis 78 Indro Tjahjono pernah mengumpulkan korban Orde Baru, baik peristiwa 1965 hingga DI/TII dalam Temu Raya Eks Tapol/Napol di Hotel Grand Cempaka pada tahun 2002. Namun upaya rekonsiliasi yang juga dihadiri Taufiq Kiemas selaku suami Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri segera terinterupsi peristiwa Ambon dan Poso. Upaya serupa juga diikhtiarkan oleh sejumlah kalangan yang diinisiasi oleh Komnas HAM namun upaya-upaya itu hanya terhenti sekedar seruan dan selalu gagal ditindaklanjuti sebagai produk kebijakan.
Untuk itu saya mengapresiasi ikhtiar rekonsiliasi Presiden Prabowo dengan memberikan penghargaan secara bersamaan kepada tokoh-tokoh yang dalam posisi berseberangan di masa lalu. Paling tidak pejuang-pejuang yang melawan penguasa tyrant bangsa sendiri juga diakui oleh Presiden Prabowo sebagai pahlawan.
Memang tidak semua peristiwa kelam di masa lalu tidak bisa semuanya bisa diserahkan kepada waktu yang terus berlalu. Untuk itu keadilan tetap menjadi kata kunci agar rekonsiliasi yang diikhtiarkan Presiden Prabowo tidak menyisakan bara di dalam sekam di antara kelompok-kelompok yang bertikai agar rekonsiliasi yang diikhtiarkan oleh sejumlah kalangan, termasuk oleh Presiden Prabowo, menjadi rekonsiliasi yang berkualitas sehingga tercipta solidaritas nasional yang kuat.
Penulis adalah Pimpinan Umum Sorot Merah Putih yang juga Pimred Kabar dari Pijar (1995-1999).
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini
















