Oleh: Marlin Dinamikanto
Sorot Merah Putih — Terakhir kali bertemu di acara peringatan 51 Tahun Malari yang diselenggarakan oleh Bang Hariman Siregar pada 15 Januari 2025 di Green Forest Hotel, Bogor. Pengacara Senior berusia sekitar 65 tahun itu masih tampak sumringah. Tidak terlihat tanda-tanda lelah atau sakit. Namun lewat pesan WhatsApp Khatibul Umam, mantan anggota DPR-RI yang kini menjadi Kyai, saya terkejut membaca pesan berantai yang mengabarkan mendiang Effendi Saman wafat di sebuah rumah sakit di Bandung.
Sosok Effendi Saman sudah saya kenal lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, saat mendiang masih bergabung di LBH Bandung. Setelah itu mendiang mendirikan LBH Nusantara yang juga menjadi tempat berprosesnya dua politisi legendaris: mendiang Desmond J Mahesa, Ketua LBH Nusantara Jakarta dan sekretarisnya, Adian Napitupulu.
Terlalu banyak kenangan yang berserak antara saya dan mendiang, karena saya pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an sering diajaknya ke Bandung menggunakan mobil Escudo miliknya. Paling sering diajak ke kantornya. Kadang kala diajaknya ke rumah mendiang di kawasan perumahan kawasan Leuwi Gajah, dekat TPA Sampah. Kala itu Effendi Saman yang usianya sekitar 5 hingga 7 tahun di atas anaknya masih kecil-kecil. Ada “bangkai” sepeda mini di pekarangan rumahnya yang sederhana.
Namun ada satu peristiwa yang saya ingat, saat diajak merumuskan secara legal tentang penyelamatan Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang masih dipimpin senior ITB yang kami kenal dengan baik, Jusman Syafii Djamal. Setelah saya membuat perencanaan yang kami tuangkan dalam logical frame work, meskipun kata mendiang sempat dipuji oleh bang Djusman namun kala itu, di tengah pemulihan krisis moneter yang masih akut, IPTN tidak menjadi skala prioritas yang mesti diselamatkan.
Sejak itu hubungan saya dan mendiang yang mondar-mandir Jakarta Bandung terus dijaga. Suatu saat mendiang berencana mendirikan kantor Lawyer Effendi Saman and Partner di Jakarta. Disewalah ruang perkantoran seluas 50 m2 yang sepertinya patungan dengan Ferry Juliantono dan Mohammad Jumhur Hidayat , di Wisma Bakri, Jl. Warung Buncit. Di kantor itu, meskipun background saya komunikasi, bukan hukum, namun saya diangkat menjadi Direktur Eksekutif. Dan itu lah satu-satunya pengalaman saya menjadi direktur eksekutif di kantor Lawyer.
Kasus yang kami tangani kala itu adalah kasus Lia Aminuddin yang didakwa melakukan pelecehan agama. Persisnya kami lupa. Tapi yang jelas dalam persidangan kasus itu ditangani oleh pengacara fresh graduated yang baru mendapatkan sertifikat pengacara. Jadi sebelum beracara, tiga pengacara antara lain Ratna Bali, Reza dan satu lagi saya lupa kami briefing dulu celah-celah hukum untuk memenangkan perkara. Dan ternyata kami menang. Lia Aminuddin akhirnya dibebaskan dari penjara.
Namun, meskipun saya sedikit banyak mengerti tentang hukum bahkan ke filosofinya, tapi itu bukan dunia saya. Terlebih tidak lama setelah itu Bang Beathor mengajak saya membuat event Jawa Barat Bebas Narkoba (Jabar Benar) dan kebetulan Bang Beathor dekat dengan Kapoldanya kala itu, Irjen Dadang Garnida. Beathor Suryadi adalah senior Pijar yang pernah dihukum pemerintahan Soeharto dengan vonis 8 tahun karena tertangkap Satpam UI sedang mengedarkan selebaran gelap .
Nah, saya pun pamit secara baik-baik dari kantor pengacara yang dipimpinnya. Setelah selesai dengan event Jabar Benar saya diajak Trijon Aswin ikut timnya mas Hermawan Sulistyo membuat buku putih pengungkapan Bom Bali, sudah itu menjadi redaktur pelaksana Media Regional di Jambi, sebelum pada akhirnya direkrut kembali oleh Bang Beathor ikut menggerakkan Relawan Perjuangan Demokrasi, organisasi yang kini menjadi sayap PDI Perjuangan. Dari sana pula jalan saya menjadi satu di antara stafnya mendiang Pak Taufiq Kiemas.
Singkat cerita, sejak itu saya dan mendiang Effendi Saman jarang berinteraksi secara langsung. Baru berinteraksi kembali saat saya menjadi redaktur sayangi.com milik senior gerakan Bursah Zarnubi yang baru saja menjadi Bupati terpilih Kabupaten Lahat. Karena saya wartawan saya diundang Bang Efe, begitu biasa kami memanggil, meliput acara Pertemuan Relawan Jokowi se-Dunia yang diselenggarakan oleh Bara JP di sebuah gedung yang saya lupa namanya, di kota Bandung, sekitar akhir 2012 atau awal 2013.
Mungkin karena Bang Efe, seperti halnya mendiang Pak Taufiq Kiemas, sudah melihat gelagat buruk sosok dengan nama lahir Mulyono itu, maka tidak lama di Bara JP, mendiang tahu-tahu sudah meloncat ke kubunya Hatta Rajasa yang pada akhirnya menjadi calon wakil presidennya Prabowo pada Pemilu 2014, dan sejak itu mendiang sering nongkrong di Taman Ismail Marzuki. Toh begitu saya masih bersahabat baik dengan mendiang.
Terakhir kali, mendiang yang pernah menjabat Sekjen ProDEM saat diketuai aktivis UGM Abdul Hamid Dipopramono, bersama Sekjen ProDEM yang sekarang Mujib terlibat aktif dalam advokasi penyelamatan Taman Ismail Marzuki (Save Tim) dan sering terlihat di poskonya yang berada di pojokan TIM. Mendiang juga aktif mengadvokasi ribuan korban pinjol secara gratis. Dengan kata lain aktivisme sudah melekat dalam jiwanya. Postingan di FB miliknya, sehari menjelang wafat, mendiang masih mengkritisi pagar laut. Sebelumnya mendiang memang sangat militan menentang reklamasi dan Meikarta.
Mendiang terus bergerak hingga akhir hayatnya. Selamat jalan senior.
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini