Sorot Merah Putih, Jakarta – Komisi III DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama para pakar hukum, akademisi, dan praktisi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7/2025).
RDPU ini membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait perubahan desain keserentakan pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029.
RDPU ini digelar menyusul terbitnya Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa mulai Pemilu 2029, pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu daerah akan dipisah.

Pemilu nasional mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, dan anggota DPD RI. Sementara itu, Pemilu daerah meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan wali kota.
Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman dan menghadirkan sejumlah tokoh, diantaranya mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, anggota DPR sekaligus pakar hukum Taufik Basari, pakar hukum tata negara Abdul Chair Ramadhan, serta akademisi Valina Singka Subekti.
“MK memutus bahwa mulai 2029, Pemilu nasional dan daerah dilaksanakan secara terpisah. Ini berbeda dengan model Pemilu lima kotak yang kita jalankan selama ini, berdasarkan putusan MK sebelumnya tahun 2019,” ujar Habiburokhman.
Ia menegaskan, perubahan tersebut menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum karena dua putusan MK yang sama-sama bersifat final justru menghasilkan desain pemilu yang bertolak belakang.
“Jadi putusan lima kotak itu bersifat final, putusan yang kemarin juga final. Lalu yang final yang mana? Ini menjadi persoalan serius dalam sistem ketatanegaraan kita,” ujarnya.
Habiburokhman menambahkan, Komisi III DPR RI merasa perlu mendengar pandangan para ahli karena berkembang anggapan bahwa putusan MK terbaru ini berpotensi melampaui kewenangan dan menyentuh wilayah open legal policy, yang seharusnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, bukan lembaga yudikatif.
“Ada indikasi Mahkamah Konstitusi telah mengubah konstitusi secara substantif, dan ini memicu polemik di masyarakat dan kalangan akademik,” kata politikus Partai Gerindra itu.
Putusan Final Tapi Tak Kebal Kritik
Dalam paparannya, Patrialis Akbar menegaskan bahwa secara prinsip, putusan MK memang bersifat final dan mengikat, namun tidak berarti kebal terhadap kritik publik.
“Putusan MK tidak bisa dibatalkan oleh MK sendiri. Kalau bisa, itu sama saja dengan menyatakan bahwa hakim MK sebelumnya tidak kredibel. Ini sangat berbahaya dalam sistem ketatanegaraan kita,” tegas Patrialis.
Ia menilai bahwa ketika sebuah putusan justru menimbulkan perdebatan luas di masyarakat dan parlemen, maka validitas dan legitimasi putusan tersebut layak dipertanyakan.
“Saya berpendapat ini adalah satu putusan yang memang dipersoalkan oleh publik. Artinya, ada big question terhadap relevansi dan landasan konstitusionalnya,” ucap mantan Menteri Hukum dan HAM tersebut.
Patrialis juga mengingatkan bahwa sebelumnya sudah ada dua putusan MK terkait pemilu serentak yang telah dilaksanakan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemilu 2014 dan 2019.
“Dua putusan sebelumnya tidak menimbulkan masalah, bahkan telah menghasilkan pemimpin bangsa baik di eksekutif maupun legislatif. Saya ikut memutus perkara pada 2013 itu, dan terbukti bisa dijalankan,” ujarnya.
Desakan Evaluasi Kewenangan MK
RDPU ini juga memunculkan gagasan agar DPR melalui kewenangannya mempertimbangkan revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, khususnya dalam hal penguatan mekanisme uji kewenangan dan konsistensi putusan.
Selain itu, pembentukan undang-undang baru atau revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada juga dinilai mendesak untuk menyesuaikan dengan dinamika sistem pemilu ke depan.
Sejumlah anggota DPR yang hadir dalam forum tersebut sepakat bahwa diperlukan pembahasan lebih lanjut secara menyeluruh dan partisipatif guna menjamin kepastian hukum dan pelaksanaan demokrasi yang berkelanjutan.
Putusan MK 135/PUU-XXII/2024
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menuai kontroversi karena membatalkan skema pemilu serentak lima kotak, yang selama ini diterapkan untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu waktu.
Pemisahan jadwal Pemilu nasional dan daerah disebut-sebut akan menimbulkan tantangan administratif, beban anggaran tambahan, hingga potensi rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilu lokal.*
Baca juga :
Kabariku.com MK Akhiri “Pemilu 5 Kotak”: Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah Mulai 2029
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini