oleh :
Yaman Suryaman, SE., M.Si., Ph.D
Ketua Pusat Pengurangan Risiko Bencana Universitas Garut dan
Ketua Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana Wilayah Jawa Barat
Sorot Merah Putih – Kabupaten Garut kembali dilanda bencana alam banjir yang menimbulkan kerugian materil dan non materil. Kejadian ini terus berulang terjadi jika terjadi hujan deras mengguyur wilayah kabupaten Garut.
Kejadian yang baru saja terjadi salah satunya adalah kejadian banjir di daerah Kecamatan Cisurupan pada hari Sabtu kemarin tanggal 15 Maret 2025.
Banjir yang terjadi di Kecamatan Cisurupan, berdampak pada terendamnya tujuh rumah penduduk dan ruas jalan Cisurupan-Cikajang akibat meluapnya air dan lumpur dari sub DAS sungai Ciharemas.
Bupati Garut berpendapat bahwasannya perlu penanganan yang cepat baik jangka panjang maupun jangka pendek termasuk langkah mitigasi agar bencana serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
Pertanyaannya adalah bagaimana mitigasi yang sudah dilakukan selama ini sehingga bencana banjir kembali terulang di Kabupaten Garut?
Dibalik bencana yang terus berulang terjadi ini, terdapat indikasi kuat bahwa mitigasi bencana yang seharusnya dilakukan tidak terlaksana dengan baik, sehingga memperparah dampak yang terjadi.
Mitigasi Bencana yang Tidak Optimal
Bencana ini sebenarnya bukanlah yang pertama kali terjadi di Garut. Wilayah ini dikenal rawan banjir dan longsor akibat topografi berbukit dan curah hujan yang tinggi.
Namun, upaya mitigasi yang dilakukan selama ini dapat dikatakan tidak memadai sehingga bencana di lokasi yang sama terus terulang. Beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan mitigasi antara lain:
1.Kurangnya Pemeliharaan Infrastruktur Pengendali Banjir:
Banyak saluran air dan bendungan kecil yang seharusnya berfungsi untuk mengalirkan air hujan tidak terawat dengan baik.
Terjadi sedimen tanah atau lumpur dari hulu sungai yang menumpuk juga sampah yang masuk ke saluran selokan maupun sub DAS sungai dan DAS sungai. Akibatnya, saat hujan deras, air meluap dan menyebabkan banjir.
2.Alih Fungsi Lahan:
Maraknya alih fungsi lahan dari hutan dan area resapan air menjadi permukiman atau lahan pertanian telah mengurangi daya dukung lingkungan. Hal ini memperbesar risiko longsor dan banjir.
Padahal kabupaten Garut merupakan Kawasan yang secara administratif sebagai wilayah dengan luas Kawasan hutan lindung sebesar 60%. Meskipun fakta di lapangan kemungkinan besar tidak sebesar ini persentase nya.
3.Kurangnya Sosialisasi dan Kesiapan Masyarakat: Meskipun Garut termasuk daerah rawan bencana, kesadaran masyarakat tentang mitigasi bencana masih rendah.
Banyak warga yang tidak memahami tentang pengurangan risiko bencana termasuk alih fungsi lahan maupun kebiasan membuang sampah sembarangan ke aliran sungai.
Selain itu, dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana dalam bentuk langkah-langkah evakuasi belum tersosialisasikan dengan baik ke seluruh masyarakat.
4.Koordinasi Antar-Lembaga yang Lemah: Koordinasi antara pemerintah daerah, BPBD, dan lembaga terkait lainnya seringkali tidak optimal.
BPBD sering dipandang sebelah mata oleh OPD teknis di Kabupaten Garut. Keterlibatan BPBD yang seharusnya strategis dalam pembangunan guna mitigasi potensi bencana sering tidak terjadi.
Hal ini menjadi Penyebab terjadinya bencana. Selain itu, Ketika bencana terjadi respons terhadap bencana menjadi lambat dan tidak terorganisir dengan baik.
Rekomendasi untuk Mengurangi Dampak Bencana di Masa Depan
Agar bencana serupa tidak terulang atau dampaknya dapat diminimalisir, beberapa langkah perlu segera diambil:
1. Perbaikan dan Pemeliharaan Infrastruktur: Pemerintah perlu memprioritaskan perbaikan saluran air, bendungan, dan infrastruktur pengendali banjir lainnya. Pemeliharaan rutin juga harus dilakukan untuk memastikan infrastruktur tersebut berfungsi optimal dengan cara pengerukan sedimentasi aliran sungai, anak sungai dan juga selokan.
2. Penegakan Aturan tentang Alih Fungsi Lahan: Pemerintah harus tegas dalam menegakkan aturan terkait alih fungsi lahan. Kawasan hutan dan area resapan air harus dilindungi untuk mengurangi risiko longsor dan banjir.
3. Peningkatan Sosialisasi dan Edukasi Masyarakat: BPBD dan pemerintah daerah perlu meningkatkan sosialisasi tentang mitigasi bencana kepada masyarakat. Pelatihan evakuasi dan simulasi bencana harus dilakukan secara berkala, sistematis dan terstruktur.
4. Penguatan Sistem Peringatan Dini: Teknologi sistem peringatan dini harus ditingkatkan, termasuk pemasangan alat pendeteksi curah hujan dan peringatan dini longsor.
Yang lebih penting adalah strategi komunikasi dan Informasi dari sistem ini harus disebarluaskan secara cepat dan efektif kepada masyarakat.
Misalnya melalui dibentuknya grup Whatsapp secara berjenjang dari mulai tingkat RT, RW, Desa, dan kecamatan Sehingga informasi bisa sampai lebih efektif.
Untuk antisipasi keadaan internet mati dapat digunakan media komunikasi dengan menggunakan radio. Setiap RT bisa ditempatkan satu perangkat radio rig di ketua RT nya.
5. Koordinasi Antar-Lembaga yang Lebih Baik: Dengan spirit pentahelix, Pemerintah daerah, BPBD, Media Massa, dunia usaha, akademisi, NGOs yang bergerak di bidang kebencanaan, dan OPD-OPD Teknis terkait harus meningkatkan koordinasi dalam merencanakan dan melaksanakan program mitigasi bencana.
Sinergi antar-lembaga akan menciptakan manajemen bencana yang baik dari mulai tahapan mitigasi ke tahapa kesiapsiagaan, tahapan tanggap darurat hingga tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi.
6. Dengan langkah-langkah konkret dan komitmen bersama, diharapkan Kabupaten Garut dapat mengurangi risiko bencana banjir dan longsor di masa depan.
Bencana ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih serius dalam mengelola lingkungan dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana.*Boelan
Ikuti Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp sorotmerahputih.com klik di sini